Prenjak
Pagi itu setelah memberi makan ayam-ayamnya, Pak Dhe memaksakan diri naik ke atap rumah memperbaiki antena TV yang tidak mendapatkan sambungan. Sebenarnya bukan karena rusak, tapi karena angin dan hujan deras yang terjadi dua hari yang lalu membuat antena TV rumah bergeser. Yang berarti, sudah dua hari kami tidak mendapatkan hiburan sinetron di TV.
“Jangan dipaksakan Pak Dhe.”
Pak Dhe mempunyai riwayat penyakit yang membuatku khawatir melihat ia memaksa untuk naik tangga yang disandarkan pada genteng, dan kaki tangga yang terganjal pohon mangga persis depan rumah. Memang Pak Dhe belum terlalu tua, tapi sekali lagi, penyakitnya yang membuatku khawatir ketika ia melakukan pekerjaan berat.
Pak Dhe tatap naik. Dia bilang juga ingin mengecek genteng, takut bocor jika ada yang bergeser, juga untuk membersihkan daun-daun kering yang tersangkut.
“Tenang saja Yul. Pak Dhe lagi sehat, aman. Daripada nanti malam kamu sama Bu Dhe-mu ndak bisa nonton sinetron?”
Aku melanjutkan bersih-bersih warung. Warung kecil inilah salah satu penghidupan keluarga. Selain ayam dan ikan lele yang biasanya Pak Dhe menjual sebulan sekali. Sapi yang dipelihara Pak Dhe tidak bisa memberikan masukan tiap bulan, memelihara sapi lebih seperti tabungan.
Warung keluarga kami “Warung Mak Ten” menjual masakan-masakan yang cocok untuk sarapan. Ada nasi jagung, nasi putih, urap-urap, mendol, bakwan jagung, lodeh, jangan tewel, pecel, dan beberapa menu tidak tetap lainnya. Tergantung yang tersedia di pasar.
Sudah bertahun-tahun warung ini berdiri, sejak aku masih kecil dan Ibuku yang berjualan. Mak Ten itu nama ibuku yang meninggal sekitar sepuluh tahun yang lalu. Karena warung ini sudah dikenal dengan nama Ibu dan menjadi peninggalan Ibu. Maka aku, Pak Dhe, dan Bu Dhe tidak mengganti nama “Warung Mak Ten.”
Beruntungnya kata tetangga yang biasa berlangganan makanan di warung, masakan Ibu dan masakanku persis sama. Kata mereka, “tangan yang piawai masak ternyata turunan.”
“Makanya segera menikah Yul. Ben Pak Dhe-mu ndak naik-naik atap rumah sendiri,” Bu Dhe yang tiba-tiba membantuku membereskan warung mengatakan itu sambil tersenyum.
Pertanyaan, “kapan menikah?” Bu Dhe menjadi semakin sering akhir-akhir ini saat aku sudah memasuki umur tigapuluh tahun. Umur yang bagi warga Kampung Sengon sudah cukup tua jika belum menikah.
Bagiku segalanya sudah cukup sekarang. Aku memiliki rasa cinta kepada Bu Dhe, Pak Dhe, dan dua keponakanku. Aku bisa menghidupi diriku sendiri dengan berjualan masakan. Aku tidak terlalu membutuhkan sosok suami. Aku merasa cukup dari segi materi, aku juga merasa cukup dari segi batin.
Selagi hidup terus seperti ini, sejalan dengan kesederhanaan, bahagia bukanlah hal yang susah.
“Sampun boten burek Pak TV e!” Keponakanku berteriak dari dalam rumah.
“Ya sudah, cepat turun Pak.” Kata Bu Dhe segera. Ia memegangi tangga bambu agar tak bergeser.
“Sek toh Bu, itu burung apa bikin sangkar kok dekat sekali dengan genteng rumah?”
“Biarkan saja Pak. Cepat turun!”
***
“Namanya juga orang tua Mbak Yul!”Ketika aku menceritakan desakan Bu Dhe untuk menikah, aku sudah menduga jawaban itu yang akan keluar dari mulut Plenguk. Ia seperti tak memperhatikanku, ia sibuk melahap urap-urap, ikan asin goreng, dan nasi jagung tanpa memandang ke arahku.
Padahal semakin sering Bu Dhe mendesakku untuk menikah. Semakin sering juga aku menghindari Bu Dhe. Jika ini terus terjadi, kedekatan kami meluntur bukan lagi seperti antara Ibu dan Anak. Sebelum desakan ini terjadi, Bu Dhe selalu seperti ibuku sendiri. Selain wajah mereka yang mirip, beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh Bu Dhe hampir sama dengan Ibu.
Bu Dhe selalu membiarkan lampu menyala saat tidur, sama dengan Ibu. Bu Dhe selalu melantunkan tembang saat menampi beras di tampah, sama dengan Ibu. Meskipun banyak sekali kebiasaan mereka yang sama. Aku tidak yakin, mendesak untuk segera menikah juga merupakan pertanyaan yang akan selalu Ibu tanyakan padaku.
“Biarkan saja, Mbak Yul. Toh, nanti kalau lupa pasti tidak akan ditanyakan lagi.”
“Justru karena itu. Karena dua keponakkanku juga sudah dewasa. Mereka perempuan semua. Bu Dhe tidak ingin aku dilangkahi pernikahannya sama mereka.”
Plenguk tersedak saat makanannya tinggal sedikit. Aku membawakannya air putih. Ia malah tertawa lepas setelah mengatur napasnya.
Masih dengan tertawa kemudian Plenguk mengeluarkan uang untuk membayar makanannya. Pecahan uang besar yang dibayarkannya, aku kembali ke warung untuk mengambil uang kembalian. Ketika aku kembali kepadanya untuk memberikan kembalian, wajahnya berubah menjadi begitu serius. Tidak terlihat bekas tawa yang terjadi sebelumnya.
“Ehm… Mau menikah sama aku Mbak Yul?”
Jelas ia tidak lagi bercanda dengan kalimatnya. Yang dikatakannya adalah hal yang serius, seserius cara Plenguk menyampaikan. Berubah pula suasana menjadi begitu canggung. Memang, satu-satunya laki-laki yang dekat denganku adalah Plenguk.
Aku berpura-pura tidak mendengarnya agar suasana canggung ini segera hilang. Beruntungnya saat itu juga pembeli lain datang. Aku kembali ke warung meninggalkan Plenguk yang ada di depan. Ketika aku menyiapkan pesanan dari pembeli, aku melihat Plenguk beranjak tanpa berpamitan seperti biasanya. Aku melihat punggungnya semakin menjauh dari warung, dengan langkah gontai ia melangkah.
Tidak seperti biasanya. Pagi selanjutnya Plenguk tidak datang lagi ke warung. Padahal ia tak pernah absen dari warung. Ia menjadi salah satu pelanggan warung sudah sekian tahun. Tapi sejak kejadian itu, hari-hari selanjutnya aku tak lagi melihat batang hidung Plenguk.
Kondisi ini disadari Bu Dhe yang selalu membantuku di warung. “Sudah lama Plenguk tidak ke warung, apa dia sakit?”
Ada yang mengatakan bahwa warung yang makanannya enak yang akan selalu dicari oleh pembeli. Namun, kenyataan lain yang tak biasa terungkapkan adalah pelanggan yang selalu setia bertahun-tahun juga akan dicari pedagang saat ia tak datang berhari-hari.
“Aku coba lihat ke rumahnya ya Bu Dhe.”
“Jam seperti ini dia tidak ada di rumah. Dia pasti sudah berangkat kerja dan pulangnya selalu malam.”
“Siapa tahu dia tidak bekerja. Sakit, seperti kata Bu Dhe.” Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba mengkhawatirkannya.
Bu Dhe menangkap itu sebagai sebuah peluang untuk meluncurkan desakannya, “setahu Bu Dhe, Plenguk tinggal sendiri dan juga belum menikah.” Kalimatnya memang tidak segera diselesaikan, tapi aku paham selanjtnya. Andai saja Bu Dhe tahu, bahwa karena alasan itu Plenguk tidak terlihat lagi di warung.
Aku membawakan plenguk menu kesukaannya yang aku hafal, nasi jagung, ikan asin goreng, dan urap-urap. Rumahnya tertutup rapat, tidak ada tanda-tandanya empunya di dalam rumah. Aku mengetuk, tidak ada jawaban.
Setelah menunggu beberapa lama, tetangganya bilang bahwa Plenguk sudah berangkat kerja pagi buta sekali. Tidak ada harapan dapat menemuinya, aku menaruh wadah bungkusan makanan kesukaannya itu di telinga pintu rumah.
Cara itu ternyata jitu. Karena keesokan harinya aku melihat Plenguk datang dan menenteng wadah yang aku bawa ke rumahnya kemarin.
“Seperti memberi makan kucing saja, di taruh depan pintu.”
“Kucing mana yang ikan asinnya minta tambahan urap-urap dan nasi jagung?”
Setelah kejadian itu, untuk pertama kali. Aku merasa tidak hanya kekhawatiranku yang hilang. Tanpa ada rasa lain yang juga hilang dan tergantikan. Rindu.
Plenguk kembali duduk dan memesan makanan yang tidak perlu diucapkan olehnya. Aku hafal. Jika ia ingin berganti menu mestinya ia akan mencegahku untuk menyiapkan. Ia membiarkanku menyiapkan makanan untuknya, dan aku memberikan kepadanya yang sudah menunggu di meja.
Suatu hari Plenguk mencegahku untuk menyiapkan makanan biasanya. Ia bilang ingin memesan kari ayam. Tanda bahwa ia baru saja menerima gajian dengan menu yang sedikit lebih mahal. Ia lalu bilang, “menu biasanya dibungkus saja, buat bekal nanti.”
Kalau dia baru mendapatkan gaji dari kerja kuli di kota, ia akan menambahkan lauk dadar jagung. Plenguk memilih untuk membeli makanan sebagai bekal karena makanan di kota sama dengan membeli tiga kali makanan di kampung. Ia tidak selalu membeli makanan buat bekal, hanya tergantung uang yang ia punya. Jika baru saja menerima gajian, ia akan membeli untuk bekal. Tapi jika uang gajian belum turun, ia tidak membawa bekal, ia akan memaksa perutnya untuk melewatkan makan siang.
“Kalian sudah terlihat sangat dekat. Menikahlah.” Bu Dhe yang memperhatikan kami kembali memberikan serangannya.
Kami berdua tidak ada yang menjawab. Aku dan Plenguk tahu bahwa pembahasan itu yang membuat kami menjadi saling menjauh. Buntutnya, karena pertanyaan itu juga kami harus menanggung rindu.
“Menikahlah.” Kata Bu Dhe kembali, memandang aku dan Plenguk bergantian. Tidak ada satu dari aku dan Plenguk yang berani mengangkat kepala, kami hanya diam dan menunduk.
Aku mengangguk pelan. Anggukan itu tidak terlihat oleh Plenguk, tapi Bu Dhe tidak luput dari anggukan itu.
“Aku merestuinya, jika kamu menikahi Yuli.” Kata Bu Dhe sambil memegang lengan Plenguk.
Secepat itu juga Bu Dhe memanggil Pak Dhe yang ada di rumah. Dengan langkah yang tidak buru-buru seperti istrinya, Pak Dhe menghampiri aku dan Plenguk. Pak Dhe tentu selalu mengetahui serangan gerilya yang selalu diluncurkan Bu Dhe kepadaku. Kini serangan gerilya itu aku terima seperti lemparan manis kembang gula.
Diam sejenak Pak Dhe tak mengatakan apa pun. “Jika memang kalian memutuskan untuk menikah, menikahlah. Aku harap itu bukan karena terburu-buru, dan aku berharap kalian sudah memikirkannya matang-matang.”
Tidak ada ekspersi yang dituangkan Pak Dhe dalam kata-katanya. Dalam kata-kata itu, ia begitu datar menyampaikan restunya.
***
Satu tahun menikah dengan Plenguk banyak hal yang harus aku pahami tentangnya, aku rasa dia juga begitu. Kata orang, menikah berarti mengetahui hal baik dan buruk pasangan dengan lebih jelas. Jika kita menikah dengan orang yang terlihat malas, ia akan terlihat lebih malas saat kita menikahinya. Sebaliknya, begitu juga berlaku untuk orang yang sangat rajin seperti Plenguk.
Hal-hal yang tidak kita ketahui sebelumnya, menjadi lebih tahu karena selalu berdampingan. Hidup bersama dalam satu rumah.
Aku memutuskan untuk tinggal dengan Plenguk di rumah sewa dekat kota. Agar ia lebih dekat dengan tempatnya kerja, dan aku bisa memulai usaha baru di kota. Nanti, kalau modalnya sudah cukup aku akan membuka warung masakan di kota.
Tapi tidak hanya sifat rajin dan ulet Plenguk yang aku harus menghadapinya sebagai hal baru. Hal kecil seperti panggilan kami harus mulai terbiasa dan menghadapinya. Aku jadi memanggilnya dengan tambahan “Mas”. Ia juga menghapus “Mbak” untuk memanggilku, ini permintaanku. Meskipun secara umur, aku lebih tua darinya.
“Mas, aku sudah siapkan bekal.”
“Aku masih belum terbiasa dengan panggilan itu.”
“Harus terbiasa, Mas. Aku istrimu.”
Plenguk memang tidak lagi memanggilku “Mbak Yul”, dengan sebisa mungkin ia juga menghindari untuk memanggil namaku secara langsung. Alih-alih memanggilku, ia lebih memilih untuk langsung mendekat dan menyampaikan keinginannya.
Setelah ia memakai jaket dan topi lusuhnya sebelum berangkat kerja kuli. Ia menghampiriku yang masih ada di dapur. Menyentuh lenganku sambil berkata, “aku berangkat dulu.”
Keharmonisan itu cepat berlalu.
Petaka tahun kedua menikahi Plenguk menjadi begitu keras hantamannya. Perbedaan perilaku yang kami rasa dapat ditangani, ternyata menyayat hati. Saat belum menikahi Plenguk, aku merasa dia begitu sopan dan bisa menguasai emosi. Tapi di tahun kedua menikahinya, aku merasa ia begitu pasrah seperti tanpa tujuan. Padahal, ia adalah suami yang meminpin keluarga.
Memang setelah dua tahun menikah kami belum dikaruniai anak. Setidaknya, meskipun keluarga kecil kami hanya dua orang, ia seharusnya bisa menjadi pemimpin untukku. Malah di tahun kedua pernikahan, ia banyak menurut pada apa yang aku katakan.
Kami benar-benar tidak berimbang.
Ketidaknyamanan itu terus terjadi hingga ketika modal untuk usaha terkumpul. Aku memulai usaha menjual makanan di depan rumah sewa kami. Aku berhasil mendapatkan uang tambahan untuk keluarga. Aku kira ini dapat membantu ekonomi keluarga, ternyata itu membuat Plenguk merasa cemburu.
Plenguk tidak menyampaikannya secara langsung. Tapi sekali lagi, aku hafal segala gelagatnya. Pada suatu waktu emosi yang dirasakannya itu meledak.
“Kamu seperti tak menghormatiku sebagai laki-laki!” Ia pergi setelah mengatakan itu.
Usaha warung baru dimulai. Ada-ada saja masalah yang terjadi. Untuk sekian minggu aku memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha warung. Aku tidak ingin merendahkan suamiku sendiri. Demi mempertahankan pernikahanku.
Aku heran kenapa dengan menjadikan istri bak permaisuri yang tidak melakukan apa-apa, dinggap sebagai tingginya harga diri suami. Padahal dengan bersama-sama bekerja, maka kondisi ekonomi keluarga dapat dengan mudah terangkat. Jika kondisi ekonomi terangkat, bukankah suami dan istri akan merasakan bersama tingginya harga diri?
Dunia selalu berputar. Begitu juga kebaikan dunia dan kekejaman dunia kita rasakan. Jika hari ini begitu baik, tidak akan menghapus kemungkinan jika esok menjadi begitu kejam. Hubungan kami kembali membaik ketika aku hanya duduk dan diam di rumah menjadi istri Plenguk. Hingga musibah yang sangat tidak diinginkan itu datang.
***
“Saat aku memulai usaha lagi setelah tutup, jadi tidak seramai dulu Bu Dhe.” Aku berkunjung ke rumah Bu Dhe di Kampong Sengon. Ada perasaan nelangsa dalam hati ketika melihat warung depan rumah yang kini terbengkalai. Salah satu dari keponakanku tidak ada yang mewarisi bakat memasak, Bu Dhe sudah terlalu tua untuk meneruskan usaha warung itu sendiri.
Aku menceritakan segalanya, Bu Dhe seperti ibuku sendiri. Aku bercerita bahwa aku pernah usaha warung di kota, tapi berhenti karena Plenguk merasa aku merendahkan harga dirinya. Ketika aku berhenti jualan ternyata tidak lama Plenguk dipecat dari tempatnya kerja.
Aku memulai usaha masakan lagi, banyak perantau kota yang sudah pulang karena pemecatan masal. Juga karena alasan itu, banyak orang yang beralih menjadi usaha warung makanan, Ketika warung kekecil-kecilan kami buka kembali di kota, semudah itu kota melahap usaha. Sepi, bahkan sampai beberapa hari sama sekali tidak ada pembeli.
Pak Dhe duduk di kursi tamu sebrangku. Aku merasa menjadi tamu di rumah sendiri. Padahal saat aku masih tinggal di sini, tidak akan terjadi obrolan di ruang tamu seperti ini. Kami biasa bicara, bercanda, sekedar gurau di depan TV sambil lesehan.
Pak Dhe tidak menampilkan ekspresi apa pun setelah aku bercerita kesulitan yang sedang aku hadapi. Ekspresi yang persis sama ketika ia memberikan restu pernikahanku dengan Plenguk.
Satu pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Dhe terasa terasa seperti badai halilintar yang terjadi di siang yang terik, “lalu, kamu sendirian ke sini Yul, Mana suamimu?”
Dari sebrang tempat Pak Dhe duduk, aku hanya menunduk.
***
Pagi itu setelah memberi makan ayam-ayam, Aku memaksakan diri untuk naik ke atap rumah memperbaiki antena TV yang tidak mendapatkan sambungan. Sebenarnya bukan karena rusak, tapi karena angin dan hujan deras yang terjadi dua hari yang lalu membuat antena TV rumah bergeser. Aku juga ingin mengecek kondisi genteng barangkali ada yang bocor.
“Tenang saja Yul. Pak Dhe lagi sehat. Aman. Daripada nanti malam kamu sama Bu Dhe-mu ndak bisa nonton sinetron?” Aku mengatakan itu pada Yuli karena dia terlihat sangat khawatir.
Aku tidak lagi muda. Usia tua dan penyakit yang aku derita menjadikanku berhati-hati. Menaiki anak tangga satu demi satu dengan begitu pelan namun pasti. Tidak heran mengapa orang bilang orang tua begitu bijaksana dengan tidak terburu-buru. Aku rasa bukan hanya karena bijaksana, tapi kondisi fisik mereka juga memaksa untuk tidak terburu-buru.
Antena TV aku putar sesuai dengan arahan anakku. Aku ikat kuat dengan bambu agar tak berputar lagi.
“Sampun boten burek Pak TV e!” Anakku berteriak dari dalam rumah.
“Ya sudah, cepat turun Pak.” Kata istriku segera. Ia menunggu di bawah dan memegangi tangga bambu agar tak bergeser.
“Sek Bu, itu burung apa bikin sangkar kok dekat sekali dengan genteng rumah?”
Aku mengampiri sarang burung itu.
Anak burung kedasih berwarna hitam dengan paruhnya yang terbuka berwarna oranye tengah merintih kelapara. Aku mencoba mencari di antara pohon-pohon, tak melihat indukan kedasih itu. Tak lama bukan burung kedasih yang datang ke sarang, melainkan seekor indukan burung prenjak.
Tanpa berlama-lama indukan burung prenjak itu segera menyuapkan makanan dari paruhnya ke anak burung kedasih. Dengan lahap anak burung itu memakannya. Sungguh indah, dalam dunia burung saja tidak perlu melihat siapa untuk saling menolong.
Perasaan indah dan berbunga dari kedua burung berbeda jenis itu aku rasakan. Hingga aku turun, membelakangi atap rumah dan menaruh satu kakiku di anak tangga.
Sesuatu menggangguku dengan bau kurang sedap yang begitu tipis. Aku mencari penyebab dan menemukan telur-telur burung yang pecah. Aku yakin, bangkai itu adalah bangkai anak burung prenjak yang tersangkut diantara genteng dan pohon mangga.
Aku terjatuh.
Terbangun. Kaget.
Badanku bergerak secara tiba-tiba dari tidur yang lelap karena bermimpi jatuh dari tangga. Aku langsung teringat pada keponkanku, Yuli, yang datang dari kota.
Di samping tempat tidur aku duduk membelakangi istriku. Aku menggoyangkan kaki istriku untuk membangunkannya, “kamu mengusirnya?”
Mata istriku yang terpejam sedang mengusahakan segala usahanya untuk terbuka. Istriku yang mulai mendengar dari pertanyaan yang aku ulangi bertanya, “siapa?”
“Yuli.” Aku berbisik.
“Aku sudah menawarkannya untuk menginap. Tapi ia tidak mau.” Istriku balas berbisik.
“Bukan itu. Kamu mengusirnya bahkan dari rumahnya sendiri. Kamu mengusirnya dengan mendesak agar ia segera menikah.”
Kini istriku juga duduk, matanya sudah terbuka dan begitu terjaga. Tanpa berbisik dan memelankan suara ia menjawab, “anak kita sudah mulai dewasa. Kita tidak memiliki rumah yang bisa diwariskan kepada mereka. Aku juga tidak ingin mendesek Yuli menikah. Dan, itu semua semua karena kamu …”
Istriku tak bisa lagi menahan emosinya, ia menangis. Dengan suara seperti serangan seribu panah tiba-tiba ia berhenti, seakan tak sanggup menyelesaikannya.
Komentar
Posting Komentar