Seorang yang Kembali Pulang

 Seorang teman lama yang baru saja kembali setelah bertahun-tahun pergi, duduk di taman. Ia terlihat lelah, tetapi matanya penuh dengan kerinduan. Aku menghampirinya, memang kami sudah berjanji untuk bertemu di taman ini.

Di tengah percakapan, ia tiba-tiba bertanya kepada saya:

"Mengapa kita selalu mencari pulang, padahal seringkali tempat yang kita tinggalkan tidak lagi sama?"

"Aku merasa mengapa kita harus pulang karena ada rumah yang akan kita tuju. Rumah tempat kita pulang adalah tempat paling nyaman di dunia ini dibandingkan mana pun. Misalnya, kita pergi ke Lucky Bay pantai paling indah di dunia. Kita akan menghabiskan waktu berjam-jam hingga seharian penuh di pantai tersebut. Pasti kita akan merasa capek, lelah, dan kita ingin pulang." Jawabku.

Ia merasa jawabanku sama sekali tak memuaskannya. "Aku sudah pergi dari kota ini bertahun-tahun. Bahkan sudah hampir separuh hidupku di luar kota ini. Tapi setiap kali aku pergi dari kota ke kota lain, aku selalu merindukan kota ini. Aku selalu ingin pulang."

"Ya, itu kenyataan dari perumpamaan pantai Lucky Bay yang aku maksud."

Ia mengangguk kecil, bukan itu yang tidak memuaskannya. "Tapi setiap kali aku pulang, apa yang aku bayangkan tentang tempat ini selalu tidak sama. Setiap kali aku pulang selalu ada yang berbeda."

"Bolehkah aku membawamu ke pantai Lucky Bay lagi?"

Ia mengangguk.

"Bayangkan saja kamu berlama di pantai Lucky Bay. Jauh sekali dari kota ini, jauh sekali dari rumah. Kamu menghabiskan waktu bertahun-tahun di Lucky Bay. Hingga kamu lupa akan rumah ..."

Temanku yang sudah lama tidak pulang itu memotong, "Aku tidak lupa sedikit pun tentang letak kota ini. Aku bahkan selalu mengikuti setiap perubahannya, aku mencari informasi tentang pembangunan baru di kota ini. Aku selalu menanyakannya padamu."

Aku mengangguk, "Ya kamu benar! mungkin ada perubahan yang kamu merasa sedikit asing bahkan dengan rumahmu sendiri."

"Lanjutkan kalimatmu yang aku potong tadi." Kami sudah lama berteman, jadi tidak akan mudah ada ketersinggungan.

"Karena keindahan Lucky Bay yang ingin menahanmu bertahun-tahun di sana. Kamu tinggal dan tumbuh di Lucky Bay. Kamu memulai usahamu sendiri di sekitaran pantai Lucky Bay, entah dengan cara kamu berdagang, atau kamu mengikuti kegiatan sosial di sana, atau kamu sekedar berbincang dengan orang-orang di sana. Bahkan kamu tumbuh setiap harinya."

"Teruskan."

"Kamu tumbuh dari kamu sendiri yang bertahun-tahun lalu. Jika kamu bayangkan kamu sedang bermain saat kita masih kecil. Kamu akan pulang ke rumah dan akan menjumpai masakan ibumu yang paling enak, kari ayam. Karena kamu pergi bertahun-tahun. Kamu merasakan berbagai makanan yang berbeda di Lucky Bay. Ketika kamu pulang, mungkin ibumu masih membuatkanmu kari yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Tapi ketika kamu memakannya, ada yang berbeda dari kari itu. Bukan karena resepnya sudah berbeda, barangkali karena kamu sudah merasakan masakan lain yang berbeda dari berbagai makanan yang kamu makan sejak masih berumur sepuluh tahun dengan sekarang yang sudah empatpuluh tahun lebih."

"Ya, makanan yang aku makan di umur sepuluh tahun tidak sebanyak pilihannya ketika aku sudah berumur empatpuluh tahun."

"Tepat sekali."

"Apakah aku benar-benar pulang ketika aku pulang?" Tanyanya lagi, "bukankah jika aku pulang dan merasa asing dengan rumahku sendiri maka sama saja aku tidak pulang?"

"Kamu pulang temanku! Kamu benar-benar pulang. Karena inilah rumahmu, tidak harus dengan bentuk fisik rumah. Kamu merasakan masakan ibumu, kamu pulang. Kamu merasakan kehadiran saudara-saradamu, kamu pulang. Kamu mendapatiku sebagai temanmu, duduk dan berbincang di taman kota ini. Bukankah kamu merasa pulang?"

Kegundahan hatinya sedikit berkurang. Aku bisa merasakan sedikit perubahan dari sebelumnya, hanya sedikit. Tapi temanku tak lagi memepermasalahkannya. Ia kini beranjak pada obrolan ringan lainnya yang semakin membuatnya merasa lebih baik. Hingga dalam obrolan ringan itu dia merasa, pulang.

Komentar

Postingan Populer