Ngopi #3

 Pernah sekali waktu aku ngopi sama temen di tempat ruko-ruko gitu. Salah satu rukonya jadi kafe seperti yang aku tempati sekarang, beberapa ruko jadi restoran, ada juga yang jadi ekspedisi pengiriman barang, ada yang jadi salon juga, dan ada beberapa ruko kosong lainnya.

Masalah yang masih saja ada adalah aku kebingungan cari tempat pesen. Dengan inisiatif yang lebih tinggi sekarang, karena belajar dari kesalahan sebelumnya. Aku mengetik nomor di handphone, lalu telpon, "Hallo, saya mau pesan kopi."

"Maaf Mas?"

"Pesen kopi, ini kafe di ... (aku sebut nama kafenya), kan?"

"Bukan Mas ini saya nomor ruko yang dijual di depan kafe."

"Oh maaf Mas." Kataku malu.

"Gapapa Mas."

"Tapi, bisa minta tolong buat pesenin satu cappucino gak Mas?"

Telepon ditutup tanpa kata "gapapa".

Aku lagi duduk memandang keluar kafe. Tertulis nama Ten-Ten dan nomor handphone untuk ruko depan yang sedang di jual. Cukup jelas untuk mataku yang minus.

Gak lama setelah itu temen-temenku datang dan memenuhi kursi. Kami langsung ngobrol, tanya kabar, dan memasuki ranah obrolan favorit. Sebuah teori dari obrolan kopian tercipta, kali ini bukan tentang dunia ilmiah tapi kami menjadi detektif!

Karena pada saat kami ngobrol, ada pedagang mie ayam lewat dan tengah dipanggil oleh orang yang ada di ruko salon. Mie ayamnya kelihatan enak sih, sampai pada ...

"Di saku pedagang mie ayam itu ada hatenya engga?" Roni salah satu teman tiba-tiba panik.

"Emang kenapa kalau ada hatenya?"

"Intel! Dia intel!" Kata Gery tidak kalah panik.

"Emang kenapa kalau dia intel?" Tanyaku lagi.

"Parah!"

"Gawat!"

Aku fomo, "kacau!"

"emang apanya yang kacau?!" Tanya Gery.

"Parah! Gawat! Kacau!" Aku hanya mengulang.

Emang intel akan semudah itu ditebak oleh orang? Jika semudah itu ditebak oleh orang, itu artinya intelnya gagal dong? Penyamaran mereka terbongkar, hanya karena kotak yang ada di saku mereka.

"Intel di rumahku sih biasanya orang jualan sandal." Roni memulai teori konspirasi ini.

"Kok bisa tau?" Aku yang hidupnya berupa rasa penasaran dan pertanyaan ini, kepo.

"Iya, jadi waktu pernah ada satu kasus orang yang lagi dipantau di sekitar rumahku tiba-tiba ada penjual sandal keliling. Sandalnya bagus-bagus, murah-murah juga, kualitasnya juga kelihatan oke, ada sandal cowo juga ada sandal ce ..."

"Bisa kembali ke teori penjual sandal itu seorang intel?"

"Nah, waktu itu ibuku beli. Lalu dia milih sandal yang bagus buat dia. Nomor kakinya empat puluh satu, cukup gede sih untuk ukuran kaki perempuan. Kan kamu tau sendiri ibuku. Lumayan lama ibuku milih, akhirnya ada salah satu sandal yang cocok buat dia, waktu dia tanya harganya ..."

"Bisa tolong kembali ke topik utama."

"Oh ya, ya, maaf. Waktu ibuku tanya harganya ..."

"Masih?"

"Ini harus detail."

Aku menyerah.

"Waktu ibuku tanya harganya. Dia jual harga tiga puluh ribu?! Bayangin, masih ada yang jualan sandal bagus harganya cuma tiga puluh ribu?! Ibuku pengen beli lagi dong. Waktu mau beli lagi, eh penjualnya bilang 'gak boleh bu, nanti yang lain gak kebagian' aneh banget kan? fix dia intel!"

Teori itu tidak masuk akal. Seakan hanya benar-benar konspirasi. "Ya, mungkin aja itu penjual sandalnya lagi ingin berbagi sandal murah, atau ternyata dia youtuber? gak kamu cek ada kamera enggak waktu jualan sandal? Atau jangan-jangan malah itu Baim Wong lagi konten prank jual sandal?" Aku mulai masuk ke dalam konspirasi asal-asalan ini.

"Bukan!" Nadanya tinggi namun ada keragu-raguan.

Aku memberikan opsi lain, "Atta Halilintar?"

Kini keragu-raguannya semakin tinggi.

"Tapi dia kelihatannya seperti intel, iya kan, Ger?" Roni mencoba mencari kawan yang mendukung argumennya.

"Aku engga tau!"

"Lah kok bisa engga tau?" Aku merasa jatah dialogku hanya berupa pertanyaan.

"Gimana bisa gak tau?! Ibu kita sama b*g* kita kan kembar!" Roni protes.

"Oh iya. Baru inget di saku penjual sandal itu ada hatenya!" Kata Gery. Diikuti oleh Roni yang menunjuk Gery seakan itulah kata yang dia cari dari Gery.

Aku tidak menanyakan perihal Gery lupa kalau Roni kembarannya. Aku merasa wajar Gery lupa, habis kenapa orang tua mereka menamakan anak kembar Gery dan Roni. Tidak ada yang sama atau identik dari nama mereka.

Teori itu menguap begitu saja. Karena saking asyiknya, kami sudah tidak melihat ke arah depan kafe lagi sampai pedagang mie ayam itu sudah pergi dari ruko salon.

"Fix dia sudah pergi, dia intel! Ada yang lagi dipantau di daerah sini!" Roni benar-benar ingin menang dengan teori mie ayam adalah intel.

Gery kembarannya mengangguk-angguk setuju. Aku fomo, ikutan mengangguk-angguk. Hingga kami kelihatan seperti dua burung kutilang yang mengangguk-angguk, sambil bernyanyi, trili-lili-lili-liii, di atas pohon cemara.

Jujur saja, di balik kepuasan teori Roni mie ayam adalah intel. Aku masih menyimpan rasa penasaran.

"Hallo, apakah penjual mie ayam di depan kafe ... itu seorang intel?"

Ten-ten tidak menjawab pertanyaanku dari telepon. Ia menutupnya langsung dengan sebal yang sepertinya bisa aku rasakan. Aku merasa tidak enak dan berhutang maaf pada Ten-Ten.

Aku berusaha lupa dari Ten-ten. Aku, Roni, dan Gery asyik pada obrolan kalau skor dari pertandingan Manchester United itu kayak ruko-ruko di sini ya? Banyak kosongnya.

Kami tertawa, begitu lepas, sangat lepas. Sampai-sampai rasanya ngopi dengan teman-teman itu hal paling membahagiakan di dunia ini. Tiba-tiba satu hal mengejutkan terjadi.

Penjual mie ayam itu kembali. Kini ia berdiri di depan kafe tanpa ada yang memanggilnya. Roni kembali panik, diikuti Gery, aku juga fomo. Penjual mie ayam itu seperti seorang aparat yang bersiap meringkus penjahat. Aku kini percaya teori Roni, penjual mie ayam itu intel. Dia bersiap menangkap orang!

Sebelum kami bergegas untuk cabut atau sembunyi. Aku membaca satu tulisan di gerobak mie ayam tersebut,

Mie Ayam Ten-Ten.
Hubungi: 081XXXXXXXXX

Aku yang terdasar dari balik meja barista ingin berteriak, "MAAFKAN AKU TEN-TEN!"

Komentar

Postingan Populer