Lima Tahun
Hal yang paling menarik dari jatuh cinta, adalah ketika kita merasa tidak ada yang bisa membuat kita bahagia, kecuali dia, orangnya.
Waktu aku belum mengenal Bono, aku tidak merasa sebahagia seperti aku setelah mengenalnya.
Bono adalah satu-satunya laki-laki yang aku tidak mengenalnya karena dia seorang teman, atau orang lain yang sengaja berkenalan lewat aplikasi kencan, atau seorang yang dikenalkan oleh teman.
Bono adalah orang asing yang tidak sengaja aku kenal.
Aku dan Bono pertama kali berkenalan di halte waktu hujan baru saja turun. Masih tercium sangat pekat sekali bau tanah yang baru saja terkena air hujan, petrichor. Angkutan belum juga muncul, tapi hujan sudah berubah menjadi begitu lebat.
"Maaf. Boleh ikut neduh?" Kata yang muncul pertama kali dari Bono.
"Ya, boleh. Boleh. Silakan." Jawab Ibu-ibu ramah.
"Baru pulang kerja, Mas?" Ibu-ibu itu menanyai Bono yang sedang mengibaskan beberapa tetes air di jaketnya.
"Iya Bu, baru pulang kerja di percetakan dekat kampus. Ya, menyesuaikan sama jadwal anak-anak kampus, pergi pagi-pagi sekali, pulang menjelang maghrib seperti ini." keluhnya.
Ibu itu tersenyum atas keramahan Bono. Seperti tidak tahu harus menjawab apa atas keramahan Bono, Ibu itu tertawa ringan ketika Bono menoleh ke arahnya. Bono berusaha membuat suasana tetap mencair, "Ibu?"
Si Ibu mengerti pertanyaan Bono yang menggantung. "Saya dari rumah saudara. Sudah lama saya tidak ke rumahnya. Tadi di antar anak saya sebelum ia berangkat kerja. Pulangnya saya naik angkutan yang paling terakhir."
"Biasanya angkutan yang paling terakhir jam 6 tepat ya, Bu? Sebentar lagi."
Ibu itu mengangguk. Bono dan Ibu itu menghentikan obrolan, menikmati hujan yang sangat rintik namun cukup deras untuk Bono melanjutkan perjalanan. Sesekali Bono merentangkan tangannya di bawah hujan, mengecek apakah sudah tampak redah untuknya melanjutkan perjalanan pulang.
Angkutan kota yang di tunggu Ibu itu datang. Sebelum naik Ibu itu menoleh dan menganguk ke arah kami. Sepertinya ibu itu mengatakan, "mari." Namun tak dapat kami dengar karena suaranya melebur dengan bunyi kasar knalpot angkutan, klakson kendaraan lain, dan hujan yang kembali deras mengetuk atap halte.
Angkutan yang dinaiki Ibu itu sudah pergi. Meninggalkan kami berdua di bawah halte.
Bono menggelengkan kepalanya ketika hujan yang kembali deras itu bertahan cukup lama. Ia membiarkan motor tua yang dinaikinya terguyur oleh hujan. Sesekali ia memastikan motornya tidak terlalu banyak kemasukan air, agar tetap bisa dinyalakan nanti jika hujan sudah redah.
"Gak naik angkutan juga?" Kata Bono kepadaku. Jelas kepadaku, karena tidak ada orang lain lagi di sini.
Aku terkejut. "Enggak. Aku nunggu temen."
Bono mengangguk. Ia menjaga kenyamanan situasi untuk tidak bertanya lebih jauh. Ia mengulurkan tangannya untuk berkenalan, "Bono."
Aku tersenyum. Nama yang baru saja aku dengar. Seumur hidupku, baru kali ini aku mendengar nama Bono.
"Ratih." Aku memberikan tanganku padanya. "Percetakan dekat kampus, sibuk banget pastinya? Tugas mahasiswa, print out, foto copy, belum lagi kalau lagi MOS bawa alat-alat atau perlengkapan aneh."
"Ya. Kurang lebih kayak gitu." Bono tersenyum tapi ada sekilas rasa capek yang muncul darinya ketika aku menyinggung pekerjaannya. "Sebenarnya aku juga gak pengen kerja di situ. Tapi ya, namanya hidup, kan?"
Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
Hujan sudah mulai redah ketika waktu menunjukkan sebentar lagi pukul setengah delapan malam. Tidak ada angkutan lagi yang lewat sehingga tidak ada orang lain lagi yang akan bergabung di halte ini. Ketika Bono sudah menyalayakan motornya, ia menoleh ke arahku lagi.
"Mbak, yakin temenmu bakal datang?"
Aku tidak yakin. Aku tidak yakin temanku akan datang. Tapi aku akan menunggunya beberapa menit lagi. Mungkin, jika temanku memang tidak datang, aku akan memanggil taksi untuk pulang.
Bono mematikan motornya kembali ke halte. "Aku temani aja ya Mbak... Ratih..." Ia seperti mencoba mengingat namaku. Salah satu nama yang mungkin ada di kepalanya di antara ratusan atau bahkan ribuan nama mahasiswa yang menjadi pelanggan di percetakan tempat ia bekerja.
Benar saja temanku memang tidak akan datang. Sudah pukul setengah delapan malam ketika Bono melihat jam tangannya lagi. Cukup lama.
"Aku anterin pulang aja ya, Mbak?" Bono menawariku dengan sopan.
Aku tidak ingin merepotinya. Aku menolaknya. Jika aku menolak untuk dinatarkan pulang, ia akan tetap bergeming untuk menemaniku. Beberapa waktu tertahan seperti itu. Jika terus di bawah halte dan tidak pulang, akan lebih merepotkan lagi tentunya bagi Bono.
Dengan penuh perasaan bersalah aku mengiyakan tawaran Bono.
Ia membukakan footstep motor tuanya untukku sebagai pijakan. Dengan penuh kehati-hatian ia menarik tuas gas dan menjalankan motornya.
"Memangnya kamu lewat perumahan Griya Adem?"
Bono berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban, "enggak sih Mbak, tapi jangan khawatir. Aku anterin sampai depan rumah."
"Jangan." Cegahku cepat. Aku tidak ingin terus merepotkan Bono. "Sampai depan jalan masuk perumahan Griya Adem aja." Aku melanjutkan, "cukup panggil Ratih, gak perlu Mbak. Mas Bono." Masih tampak aneh bagiku mengucapkan namanya.
"Aku juga nggak perlu Mas. Cukup Bono." Ia protes.
"Oke, Bono."
"Oke, Ratih."
Senyumku mengembang malam itu, tanpa aku sadari.
***
Aku bertemu lagi dengan Bono, di halte yang sama seperti kemarin. Di waktu yang sama seperti kemarin. Bedanya, hari ini tidak hujan. Hari ini juga tidak ada ibu-ibu yang kemarin meneduh bersamaku.
"Sengaja berhenti?" Kataku pada Bono, ketika ia memberhentikan motornya di pinggir halte.
"Sengaja tetap nunggu temen?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya diam. Pertanyaan itu cukup mengusikku, entah mengapa.
Bono seperti tau kalau raut mukaku berubah ketika pertanyaan yang seharusnya biasa saja itu ia lontarkan kepadaku. Ia merasa tidak enak. Mengetahui perubahan itu buru-buru ia menimpalkan, "Ya... Tadi tiba-tiba motornya berhenti." Ia memandang motornya.
"Emang kenapa motor kamu?"
"Katanya, 'ada Ratih di halte, sebaiknya anterin dia pulang' gitu katanya." Ia membuat suara aneh agar terdengar seperti bukan dia yang mengucapkan.
"Jadi selain jadi mas-mas fotocopy dekat kampus, jadi ojek juga?" Aku menertawakannya.
Ia membalas, menertawakanku juga. "Ojek khusus Ratih"
"Oke ayok!"
Dia membuat gerakan aneh dengan tangannya dan terdengar seperti suara "yess!" tak terucapkan. "Serius?"
"Itu angkutnya udah dateng. Kalo mau aja sih. Kalo gak mau ya ..." Aku melangkahkan kakiku siap memberhentikan angkut.
Bono mengatakan, "ayo!" Dengan cepat cepat. Seperti kemarin, ia membukakan footstep motornya untukku.
Rumahku, Griya Adem cukup jauh dari halte tempat kami bertemu. Sekitar 40-50 menit dari hatle. Jadi ketika Bono mengantarku mungkin langit baru akan memasukki gelap. Tapi, ketika Bono sampai di depan komplek rumah langit sudah gelap.
"Sampai sini, saja." Kataku.
"Oke."
"Jadi berapa semuanya?"
"Seratus juta, Bu"
"Sekalian enambelas miliar boleh nggak, Mas?"
"Boleh juga." Ia menengadahkan tangannya. "Bercanda. Besok aku anterin lagi aja, ya? Boleh minta nomormu? Kali aja tukang ojek ini bisa whatsapp dulu." Candanya.
Aku menggeleng lemah. Senyum dan tawa Bono sedikit memudar karena itu. Aku berusaha memberikannya senyum, agar ia tidak merasa begitu buruk. "Tapi di jam yang sama, besok. Aku masih di halte itu kok."
"Sampai ketemu besok." Ada sesuatu yang terganjal dalam hati Bono ketika mengatakannya.
"Sampai besok." Jawabku.
***
Meskipun ada perasaan yang cukup tidak nyaman kemarin. Bono kembali menemuiku di halte. Kami sudah kembali bercanda seperti melupakan hal kemarin.
Hal itu yang selalu Bono lakukan. Membukakan footstep motornya untukku.
Bono mengantarkanku pulang, lagi.
Begitulah kami dekat. Hari-hari kami semakin dekat, karena aku merasa cara Bono berbicara denganku sangat cocok. Ia sangat mudah akrab, dan aku siap membuka pintu untuk Bono.
"Ibu-ibu yang dulu pertama kali kita kenal. Kenapa gak ngobrol sama sekali?" Aku tau, ia mengejekku karena kami begitu diam seperti dua perempuan yang sedang marah.
"Kayak dua orang yang lagi marahan?"
"Betul."
"Padahal nggak kenal."
"Padahal nggak kenal!" Bono mengulangi perkataanku dengan tertawa. Topik mengenai Ibu itu terlewatkan.
Selalu ada getir di hatiku ketika Bono sudah mengantarku sampai di depan komplek rumah. Selalu ada getir ketika Bono mengatakan, "sampai jumpa besok". Karena aku tidak yakin sampai kapan Bono mau seperti ini. Aku tidak yakin, Bono akan mau untuk menemuiku lagi di halte itu.
Aku merasa, aku begitu bahagia dengan Bono.
Jujur saja, aku bisa menyukai Bono. Aku bisa saja mencintainya. Kalau saja, tidak ada teman yang aku tunggu di hari yang sama ketika aku berkenalan dengan Bono.
Aku sedang menunggu seseorang yang lain..., bukan..., Bono.
***
Aku mencintainya. Sangat. Aku menyukainya, entah dengan cara apa dan bagaimana. Bagiku, Ratih memiliki caranya sendiri untuk menjadi perempuan yang selayaknya dicintai.
Hari ini kerjaan sangat menumpuk. Aku tidak memiliki nomor whatsappnya. Untuk zaman yang sangat serba smartphone ini, aku dan Ratih seperti manusia primitif. Kami tidak memiliki nomor whatsapp masing-masing. Hanya mengandalkan waktu untuk bertemu kembali.
Mungkin, barang sehari ini saja. Aku tidak sempat untuk mengantarkan Ratih.
Aku bukan tidak ingin mengantar Ratih. Hari ini, kerjaanku sangat menumpuk.
***
...
Aku sangat menyesali hari itu. Saat aku tak menjemput Ratih di halte. Saat aku tak mengantarkan Ratih pulang ke rumahnya. Saat aku lebih memilih disibukkan oleh kerjaanku yang sangat menumpuk.
Satu minggu lebih. Aku selalu berhenti dan menunggu Ratih di halte. Di jam yang sama saat aku pertama kali bertemu dengannya. Aku selalu menunggunya. Tapi setelah satu minggu lebih, aku tak pernah melihatnya lagi.
Aku tidak tau kenapa Ratih tiba-tiba tidak mau lagi menemuiku.
Mungkin.
Lalu aku melakukan hal yang sangat bodoh. Ini akan menjadi begitu hal-paling-tidak-pikir-panjang dalam hidupku. Aku akan ke Griya Adem. Menanyakan pada seseorang di sana. Atau bahkan satpam. Aku hanya ingin bertemu Ratih.
Pasti Satpam akan tahu. Setiap aku mengantarkan Ratih di depan kompek rumahnya, selalu tak jauh dari pos satpam.
40-50 menit yang aku lalui sendiri. Tanpa Ratih, menuju ke rumahnya.
"Maaf, Pak. Saya temannya Ratih. Bapak tau rumah Ratih?"
"Ratih?" Satpam itu mengernyitkan dahinya. Sudah satu minggu lebih memang aku tak lagi mengantar Ratih. Mungkin ia lupa.
"Biasanya saya anterin Ratih sampai situ." Aku menunjuk dengan sopan tempat biasanya aku menurunkan Ratih.
"Mas yang biasanya menutup footstep motor Mas, di situ, kan?"
Aku mengiyakan.
Sepertinya satpam itu mulai ingat. Ia mengangguk paham. "Oh, Mbak Ratih. Rumah orang tuanya di perumahan tengah itu Mas. Mas lurus saja, belokan pertama ke kiri. Nanti sebelum ada perempatan lagi. Mas tengok ke kiri. Rumah pojok berawarna coklat itu rumah orang tuanya Mbak Ratih, Mas."
"Terima kasih. Pak"
Aku menjalankan motor sesuai dengan arahan Satpam. Sampai di rumah coklat pojok sebelum perempatan. Rumahnya begitu besar. Beberapa lampu berwarna kuning menyala, meninggalkan kesan yang cukup mengkilat untuk tembok mewah rumah Ratih yang berwarna coklat. Beberapa lampu rumahnya yang putih dan lebih besar memberikan terang yang cukup malam itu.
Ada ngilu dan perasaan buruk mengenai nomor whatsapp yang tak pernah di berikan Ratih untukku. Rumahnya seperti memberikan tambahan kejelasan mengenai itu. Tapi tidak, aku yakin Ratih bukan yang seperti itu.
Pagarnya begitu besar. Ada tombol bel kecil di tembok dekat pagar.
Seorang yang mungkin pembantunya keluar. Segera ia kembali ke dalam rumah, yang bagiku rumah tersebut semakin terlihat begitu megah karena tak terhalang oleh pagar.
Kedua orang tua Ratih keluar. Ia menghampiriku dan mempersilahkan masuk.
Kedua orang tua Ratih itu cukup ramah. Aku tidak pernah membayangkan keramahan yang sangat hangat dari orang yang sangat-sangat begitu kaya. Segera aku ingat, aku tahu, kebaikan kedua orang tua Ratih itu yang menurun ke Ratih, anaknya.
Kami berbincang sebentar kemudian mereka mempersilakanku masuk. Duduk di ruang tamu yang begitu luas, meja marmer yang sangat mewah, dan sofa yang sangat nyaman.
"Mas ... " Kata Ayah Ratih menggantung, ia lupa namaku.
"Bono, Bapak."
"Mas Bono, sudah lama kenal Ratih?"
"Baru Pak, mungkin baru dua atau tiga bulan yang lalu." Aku menceritakan pertemuan pertamaku dengan Ratih di halte itu. Aku menceritakan bagaimana aku mengenal Ratih. Aku juga menceritakan dulu hampir setiap hari, aku mengantar Ratih dari halte sampai depan komplek dekat pos satpam. Tapi, sudah satu minggu lebih aku tak bertemu lagi dangan Ratih.
"Bagimana Ratih, Mas?" Ibu Ratih bertanya dengan nada penuh harap. Aku tidak mengerti.
Aku tidak mengerti maksud pertanyaan Ibu Ratih. Ibu Ratih tiba-tiba menangis, aku begitu bingung. Ayah Ratih tidak lagi bersandar di sofa yang nyaman. Ia memberikan tissu kepada istrinya.
Ayah Ratih menegakkan duduknya. "Jadi begini, Mas..., Bono..." Katanya begitu hati-hati.
Aku menantikan.
"Di halte yang persis Mas Bono ceritakan. Lima tahun yang lalu ... "
Malang, 26 November 2024
Komentar
Posting Komentar