Budiman
"Budiman."
Dalam Bahasa Indonesia, atau dalam kamusnya, Budiman memiliki arti yang sangat bagus. Menjadi simbol bahwa pemilik nama "Budiman" tentulah orang-orang yang memiliki akal budi pekerti yang baik. Memiliki nama Budiman adalah sebuah karunia.
Apakah karunina nama Budiman hanya dimiliki oleh orang yang berjenis kelamin laki-laki saja? Bagaimana jika orang tersebut perempuan? perempuan ada juga yang berbudi, pintar, dan bijaksana?. Bolehkah perempuan itu diberi nama Budiman?
Semuanya ada dalam bagiannya masing-masing. Karunia tersebut ada dalam setiap masing-masing. Tidak perlu digeneralisasi, dipukul rata dengan nama Budiman. Toh, kasian pemilik nama Budiman asli. Yang dari lahiriahnya sudah diberi nama Budiman. Sama saja, perempuan memiliki nama yang indah sendiri.
Misal, sebagai contoh yang baru saja kita ulang-ulang penyebutannya, untuk mengatakan "karunia" itu tidak bisa digeneralisasi nama untuk laki-laki atau perempuan. "Karunia" adalah nama yang identik dengan perempuan.
Dari dalam rumah yang masih belum ber-ubin ini, sepasang suami-istri tengah menikmati suasana dalam rumah baru mereka. Mereka memandangi langit-langit yang belum dipasang asbes, duduk di kursi kayu yang berukiran Jepara, meraba tembok yang belum dicat hanya bersaputkan semen.
Pintunya dibiarkan terbuka, sehingga ketika ada orang yang bertamu mereka bisa langsung mempersilahkan tamunya untuk masuk, duduk-duduk, menikmati jajanan ringan yang disuguhkan diatas meja.
"Masuk, Pak!" dengan ramah sang suami mempersilahkan tamu yang seperti masih kebingungan.
"Oh iya, Pak. Saya hanya ingin bertanya, rumah Pak Budiman yang mana ya, Pak? Saya mau mengantarkan paket."
"Pak Budiman? saya sendiri Pak Budiman, tapi saya tidak memesan apapun dan saya orang baru disini. Yang saya tahu selain saya, depan rumah saya persis ini adalah Pak Budiman."
Sang suami kembali duduk bersama istrinya.
"Ada perlu apa Bapak yang tadi?" Tanya sang istri.
"Kurir paket, mencari Pak Budiman."
"kamu memesan paket, Mas?"
"Bukan untukku, Pak Budiman yang lainnya."
Sang istri mengiyakan. Tanpa bertnya Pak Budiman yang mana, ia sudah memaklumi. Nama suaminya "Budiman" tidak hanya satu. Pak Budiman tidak hanya ada satu.
***
Di sebrang sana, sang kurir mengetuk pintu rumah yang katanya rumah Pak Budiman. Pemilik rumah tersebut keluar. Jelas bukan Pak Budiman. Karena yang keluar adalah seorang perempuan. Sudah tua usianya, rambut putih dikuncir satu pada belakang kepala, berbaju kebaya, dan memakai kain sewek.
"Permisi Ibu, benar ini rumah Pak Budiman?"
"Nggih, bener."
"Pak Budimannya ada Bu? Ada paket untuk Pak Budiman."
"Paket?"
"Iya Ibu, dari catatan resi pengirimannya paket ini sebuah buku. Tercatat Pak Budiman sendiri yang memesannya di toko online."
"Online?" dengan aksen Jawa kental Ibu yang sudah tua tersebut kebingungan.
"Benar, Ibu." Kurir mulai yakin pada dirinya sendiri bahwa ia kembali salah alamat.
"Suami saya Pak Budiman, bener. Tapi sepertinya ia tidak bisa memesan apapun, apalagi online. Gek piye carane yo mesti mboten weruh. Dan suami saya sedang tidak ada di rumah, ia baru saja pergi ke warung depan gapura."
"Ooo maaf Ibu."
"Kalau bertemu dengan suami saya di warung, saya titip salam dan suruh dia cepat pulang."
Aneh. Kenapa satu rumah harus titip salam? mungkin maksudnya menyampaikan agar Pak Budiman cepat pulang.
Kembali di pegangnya paket tersebut oleh sang kurir. Dengan saran dari Ibu yang sudah tua dan berambut putih tadi untuk pergi ke warung depan gapura. Sebelum mencoba saran dari Ibu tersebut, ia bepikir sejenak. Mungkin Bapak yang baru tinggal di kampung ini salah menunjukkan rumah. Ia mencoba mengetuk pintu rumah sebelah dari Ibu tua tersebut. Hanya tepisah beberapa lahan kosong, pohon pisang di rumah Ibu tersebut, kemudian pagar pembatas berupa rusuk bambu, dan pohon rambutan di rumah yang akan ia tuju.
Kurir memutar menuju rumah yang ia maksud. Keluar dari pagar menyusuri jalan setapak yang masih berupa tanah tapi padat. Jalan tersebut memang belum beraspal tapi tanahnya yang padat menjadi saksi bahwa jalan yang sedang ia lewati adalah suatu jalan utama yang sering dibuat lalu lalang orang. Sampai di depan pintu berwarna biru, ia mengetuk pintu tersebut. Nihil. Tidak ada yang keluar.
Mau tidak mau, warung menjadi jalan utama. Tentu pemilik warung mestinya orang lama dan mengenal betul orang yang ada di kampung ini. Sebelum petang paket Pak Budiman ini harus segera diantarkan.
***
"Dasar koruptor!"
"Anda penjudi!"
"Sudah, sudah!"
"Koruptor! Tikus! Tega mengembat uang rakyat! Harusnya anda dikucilkan dari masyarakat!"
"Penjudi! Hina!"
"Anda lebih hina, anda koruptor!"
Di depan warung yang akan dituju oleh kurir. Dua orang bapak-bapak yang saling tuduh antara koruptor dan penjudi itu sudah bergelut. Satu memberi pukulan telak tepat pada kepala. Satu lagi setelah memberi pukulan balasan yang membuat lawannya terjatuh, ia menendangi lawannya tersebut beberapa kali. Beruntung seseorang sempat memisahkan dan membubarkan mereka.
Setelah situasi menjadi lebih damai, kedua orang bapak tersebut sudah meninggalkan warung. Kurir melangkah masuk ke dalam warung. Ia bertemu dengan Pak Budiman, suami dari Ibu yang sudah tua tadi. Tapi Pak Budiman yang umurnya sudah tua juga seperti sang istrinya mengatakan bahwa ia tidak memesan apapun. Jelas paket tersebut bukan miliknya. Malah, Pak Budiman mengatakan mungkin paket tersebut milik orang baru yang ada di depan rumahnya. Pak Budiman orang baru.
"Oh iya, Pak Budiman. Saya tadi bertemu istri Bapak, beliau bilang kalau Bapak diminta cepat pulang."
Hanya kebingungan yang ada dalam kepala sang kurir. Ia duduk pada kursi kayu panjang disebelah Pak Budiman. Bersandar, beristirahat sebentar dari kepenatannya mencari Pak Budiman.
"Nak, Bapak ingin memberi tahu saja. Dua orang yang bertengkar tadi kamu melihatnya?"
"Melihat Pak, wah mengerikan Pak. Saya tidak berani memisahkan mereka."
Pak Budiman yang sudah tua itu hanya mengangguk. Menekuk kepalanya ke bawah, kemudian tersenyum ketika sang kurir memperhatikannya.
"Apa benar yang mereka katakan itu Pak? Satunya penjudi, satunya lagi koruptor?"
"Satu memang seorang pejabat. Terdengar desus ia sedang diselidiki karena kasus terduga korupsi. Satunya lagi memang seorang penjudi, ia penjudi berat yang bahkan sampai hati menelantarkan istri dan anak-anaknya. Asal kamu tahu saja, Nak. Keduanya bernama Budiman."
Kurir tersebut memicingkan matanya. Menatap pak Budiman yang bercerita kembali.
"Meskipun memiliki nama Budiman. Tapi keduanya sama sekali tidak mencerminkan sikap yang berbudi. Kadang diberi nama sebagus Budiman ini menjadi sebuah karunia. Karena nama adalah doa. Tapi, tidak semua manusia sanggup menahan kuasa nama Budiman. Tidak cocok diberi nama Budiman tapi Bapaknya memaksa, atau Ibunya memaksa agar namanya Budiman."
Pak Budiman menyeruput kopinya lagi. Kemudian ia melanjutkan, "kalau suatu saat nanti kamu punya anak, berilah dia nama yang memang cocok untuk anakmu. Jangan pernah memaksakan sesuatu. Kadang mungkin nama yang cocok Rezki, ya berilah nama Rezki. Jangan pernah memaksakan nama anakmu menjadi Budiman. Mengemban nama yang terlalu tinggi dan tidak cocok kadang memberatkan."
"Kalau tidak cocok malah menjadi kacau ya Pak?"
"Malah menjadi kacau, hehehe." Pak Budiman berdiri, kopinya sudah habis. "Saya pulang dulu, Nak. Sebenarnya istri saya sudah meninggal. Sebelum kesini, saya baru saja membersihkan rumput-rumput liar di makamnya. Terima kasih sudah menyampaikan pesan istri saya."
Bingung. Ngeri. Menjadi satu. Tapi yang paling menempel di kepalanya adalah kehidupan hari ini seperti mimpi saja. Kehidupan yang begitu absurd dan membingungkan. Bahkan sampai keluar warung dan paketnya belum terantarkan, ia meyakinkan dirinya sendiri kalau hari ini sebenarnya hanyalah mimpi yang menjadi bunga tidurnya semata. Sampai ia menoleh ke arah gapura untuk memastikan alamat paketnya, terdapat tulisan pada gapura tersebut "Kampung Budiman."
Bergegas. Ia menenteng kembali paket Pak Budiman. Ia tahu kemana paket ini harus diantarkan.
Malang, Hari Minggu di Februari 2022
Komentar
Posting Komentar