Istri Budiman
Aku baru saja bertemu Budiman!
Bukan, bukan Budiman asli yang aku tatap. Bukan Budiman dalam bentuk Budiman. Tapi istri Budiman, aku bertemu istri Budiman.
Kejadian ini saat aku menaiki kereta dari Malang dengan tujuan utama Stasiun Bandung. Dari Malang kereta tersebut berangkat sore dengan estimasi sampai di Bandung pada besok pagi hari. Aku membayangkan perjalanan ini adalah perjalanan yang akan menjemukan.
Tidak akan ada pengalaman perjalanan melihat orang yang sedang bertani ketika kereta melewatinya, pemukiman warga dekat bantalan rel kereta, kerbau yang sedang memamah biak di kebun kosong, atau bahkan yang lainnya yang dapat membuat kita menikmati perjalanan yang ada. Semuanya akan menjadi gelap sampai besok pagi. Tentunya, ini sangat membosankan.
Dalam kereta yang terus melaju kencang dan hanya berhenti di stasiun-stasiun besar saja. Aku berpikir sepertinya empat belas jam perjalananku hanya akan habis untuk membaca buku novel yang aku bawa. Kalau akan terus seperti ini, seharusnya di dalam kamarku saja sudah bisa. Tidak perlu memakai kereta yang sejauh ini. Tapi, ah, ternyata sangat beruntung sekali!
Saat kereta melaju di Mejayan kota Madiun, aku bertemu dengan seorang perempuan yang usianya sekitar tiga puluh tahunan menggandeng anak yang bisa aku pastikan umurnya sekitar lima tahun. Aku memandang mereka sejak mereka masih jauh, berjalan di tengah melewati beberapa kursi, melihat nomor kursi yang mereka akan duduki.
Mereka terus mencari dan sesekali karena si anak masih tak mengerti, ia kadang berlari tapi tetap dalam gandengan tangan Ibunya. Perempuan itu akan memasang muka sedikit masam ketika anaknya berlari, tapi ketika si anak merasa tertahan dan menengok ke arah Ibunya, perempuan itu akan memasang kembali senyum di wajahnya.
Mereka duduk di kursi sebelah kanan kereta. Tepat berada di sampingku, aku bukan paling sisi kiri yang ada di dekat jendela. Aku berada di tengah, ketika perempuan itu duduk ia sempat sedikit melirik ke arahku, Kemudian ia membuang muka untuk kembali fokus menaruh barang-barang bawaannya. Dengan koper bertuliskan "Budiman".
Koper yang sama ketika aku dan Budiman masih dua puluh tahunan, kala itu Budiman sendiri yang membawanya ketika kami liburan ke Jogja.
***
Dalam dunia pikiranku sendiri, aku terbang mencoba mengira-ngira kehidupan si perempuan dengan Budiman pada zaman dahulu. Mungkin enam atau tujuh tahun yang lalu sebelum si kecil lima tahun itu lahir. Tentu sebagai teman Budiman yang sepuluh tahun lalu terakhir aku mengerti bagaimana kehidupan Budiman sebelum pernikahannya.
Budiman itu orang yang ulet, gigih, pantang menyerah, apa yang ia lakukan harus sesuai dengan apa yang diinginkannya, kalau kata idealis saja tidak cukup untuk menggambarkan keadaannya. Ia sangat super idealis. Bahkan, dalam pekerjaannya menjadi wakil rakyat dia sangat super idealis.
Apapun yang dia lakukan, ia akan berusaha bahwa itu untuk melayani rakyat. Katanya pada suatu waktu di warung kopi samping gedung tempatnya bekerja, "sebagai wakil rakyat itu, kita melayani rakyat. Bahkan selalu aku analogikan kalau majikanku itu seluruh rakyat Indonesia." Begitulah kata Budiman waktu itu. Tidak tahu lagi apakah teman-temannya akan berpikir seperti Budiman atau tidak?
Aku hanya mengangguk menyetujui pernyataan Budiman. Namanya juga teman, itu hanya keluar di mulutnya atau memang benar seperti itu ia bekerja. Aku percaya saja, karena dia temanku. Kemudian ia menyeruput kopinya lagi, ia menyomot pisang goreng yang disajikan diatas nampan bundar berwarna oranye. Nampannya sudah lama dan warnanya sudah mulai pudar.
Dengan mulut yang masih mengunyah pisang goreng ia menambahkan, "Aku tidak seperti teman-temanku yang serakah! gaji sudah cukup tapi masih korupsi! keji. Bandit uang rakyat!" Katanya menggebu-gebu.
Kali ini ia mengambil lagi tahu hangat yang baru saja disajikan oleh pemilik warung. Apa dia bisa mendengar suara yang ada di dalam hatiku? Atau cuma kebetulan belaka? Haruskah aku percaya padanya? Ah, aku tidak akan meragukannya.
Aku teman Budiman, aku percaya padanya. Setidaknya jika memang itu sebuah kebohongan, tapi mulutnya pernah berniat melakukan kebaikan.
Sayangnya berbincang di warung kopi pinggiran itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Budiman. Aku sudah tidak lagi mendengar kabarnya setelah itu. Bagaimana kehidupannya setelah dari warung kopi itu? aku tidak tahu. Budiman seperti menghilang begitu saja, lenyap.
Mungkin dua atau tiga tahun setelah itu Budiman menikah dengan perempuan yang duduk di kursi samping kereta sekarang ini. Budiman tak lagi mengundangku, mungkin dia sudah punya banyak teman baru dan lupa untuk mengundangku. Tidak masalah kalau memang terjadi seperti itu, Budiman tetap temanku. Atau mungkin saja, teman-teman dalam kader politiknya sudah satu visi dengan dia. Sehingga dia tidak perlu mengutarakan keluh kesahnya di warung kopi seperti dulu lagi.
Apapun yang sudah terjadi selama sepuluh tahun kebelakang biarlah, tapi sampai saat ini aku belum pernah bertemu lagi dengan Budiman. Budiman lenyap.
***
Setelah mereka berdua duduk, aku melepas earphone. Aku ingin mencoba berinteraksi dengan mereka, tapi dimulai dari mana? aku tidak tahu. Jelas istri Budiman tidak mengenalku. Atau mungkin ia tahu namaku ketika Budiman menceritakannya, tapi tidak tahu rupaku.
Aku menoleh ke arah perempuan itu kemudian tersenyum, perempuan itu membalas dengan senyuman dan anggukan kecil. Senyumnya memang menenangkan, beruntung sekali Budiman memiliki istri seperti dia.
"Mau ke Bandung?" Tanyaku menunjuk perempuan itu dengan tangan kanan terkepal menggunakan jempol, sebagai suatu bentuk menghormati.
"Iya ke Bandung, Kiaracondong, Mas-nya juga?"
"Saya turun di Stasiun Bandung," sungguh aku tidak tahan untuk terus menanyakan perihal koper yang ia bawa. Aku ingin memastikan benarkah bahwa perempuan ini istri Budiman temanku, "Dari koper yang mbak bawa, seperti koper milik teman saya Budiman Santosa."
Perempuan itu mengernyitkan mata. Dari pandangan yang ramah tiba-tiba berubah menjadi pandangan waspada ke arahku. Seperti mencar-cari siapa aku, seperti mencoba menafsirkan sebenarnya siapa aku.
"Saya teman sekolah Budiman."
Pandangannya berubah lagi, sekarang ia mencoba mencari-cari dalam ingatannya apakah pernah bertemu denganku atau tidak.
"Saya terakhir bertemu dengan Budiman sepuluh tahun yang lalu, belum pernah bertemu lagi sampai sekarang."
Aku tidak tahu kenapa aku harus terus menjelaskan bahwa aku teman Budiman. Bahkan perempuan itu belum menegaskan apa benar ia istri Budiman atau ini semua hanya tebakanku saja. Yang kebetulan saja ia memiliki koper yang sama dengan Budiman, yang kebetulan saja aku juga tidak pernah bertemu dengan Budiman lagi sepuluh tahun yang lalu, yang kebetulan saja mungkin Budiman sudah menikah sepuluh tahun terakhir.
Tapi aku yakin, ia benar-benar istri Budiman, itu benar-benar koper Budiman.
Kemudian anaknya yang duduk memandang keluar jendela kereta, menoleh ke arah ibunya menepuk halus punggung Ibunya. Ia megatakan sesuatu yang aku tidak bisa mendengarnya karena hampir seperti berbisik. Perempuan itu saja sedikit membungkukan badan untuk mendengarkan apa yang sedang dikatakan anaknya.
Ia menoleh lagi ke arahku setelah anaknya selesai berbisik. "Maaf, Mas?"
"Iya?"
"Mas tahu gerbong restoran ada dimana?"
Aku menunjukkan gerbong restoran ada di bagian tengah kereta. Kita sedang ada di rangkaian hampir paling belakang kereta, jadi kira-kira gerbong restoran ada di depan gerbong sekarang. Setelah aku menujukkannya, Ibu dan anak itu pergi ke restoran.
Aku sengaja menunggunya, tapi lama sekali. Sangat lama. Aku lihat jam pada tangan kiriku, sudah setengah jam tapi mereka tidak kembali. Sampai aku merasa penat dan bosa. Tanpa aku sadari, aku sudah tertidur sebelum mereka kembali duduk.
***
Gila!
Aku terlalu pulas, sampai akhirnya ada pengumuman dari kereta bahwa kereta akan sampai di Kiaracondog. Semua penumpang yang akan turun di Stasiun Kiaracondong sudah bersiap. Aku menoleh ke bagian kanan Perempuan itu dan anaknya sudah mengemasi koper yang mereka bawa.
Aku masih ingat bahwa pertanyaanku tentang apakah ia istri Budiman masih belum terjawab. Aku tidak ingin mengganggunya saat sibuk seperti ini. Penumpang sebelah kiriku ternyata juga sudah bersiap untuk turun, saat melewatiku dengan permisi dia berpamit dan menawariku untuk mampir ke rumahnya jika aku tinggal lama di Bandung.
Perempuan itu dan anaknya sudah beranjak dari kursi. Aku masih memandang punggung mereka sampai tak terlihat lagi. Karena sudah pagi dan tempat kosong disebelahku tidak akan ditempati lagi. Aku pindah duduk untuk memandang keluar jendela kereta.
Saat kereta mulai beragkat menuju stasiun pemberhentian terakhir di Stasiun Bandung. Dari kaca jendela, aku melihat perempuan itu dengan anaknya dan seorang laki-laki memakai topi dan kacamata. Perempuan itu menunjuk ke arah kereta, ia juga menyadari bahwa aku melihatnya. Kemudian anak dan seorang laki-laki itu menoleh juga ke arahku.
Dengan cepat mereka berlari. Mereka bertiga dengan anaknya yang langsung digendong oleh laki-laki itu. Seperti mereka telah melihat hantu yang berupa, aku.
***
Saat sampai di Bandung. Aku langsung membeli roti juga kopi dari toko roti yang ada di dalam beranda stasiun. Roti dan kopi kadang cukup sebagai teman untuk menjemputku dari stasiun. Aku mulai menikmati roti dan kopi hangat yang disajikan dalam kertas tahan air sebagai gelasnya.
Mungkin koran akan pas untuk menikmati pagi ini. Aku tidak ingin buru-buru seperti dikejar polisi saja. Aku ingin bersantai, lalu aku mencari penjual koran. Membelinya satu, kemudian kembali duduk di kursi tunggu tempatku tadi.
Aku mulai membaca koran yang sudah ku beli. Menyeruput kembali sedikit kopi hangat dalam gelas melalui sedotan kecil dan tipis. Dengan tersenyum simpul kecil memaknai kehidupan, aku baca tajuk utama koran tersebut bertuliskan "Buronan! Politikus Budiman Santosa tidak ditemukan di rumahnya.
Maret 2022 di Stasiun Mejayan, Madiun.
Komentar
Posting Komentar