Apokalips
Satu hari setelah peristiwa itu terjadi. Aku masih menggunakan kain batik sebagai penutup kepalaku yang hanya menyisahkan mata. Debu halus terbawa angin panas, tidak ada lagi pohon yang tersisa selain pohon beringin yang aku lubangi sebagai tempat persembunyian. Satu hari yang lalu, tentu gedung-gedung tinggi itu tidak akan runtuh. Satu hari yang lalu, bangunan-bangunan megah masih berdiri memberikan kesan gagah dan mendiskriminasi.
Aku tidak tahu apa yang tersisa dari peristiwa itu. Aku hanya pernah mendengar sebelumnya, orang-orang kaya membangun persembunyian bawah tanah yang lebih layak dan mumpuni. Padahal sudah sekian tahun di negeriku, ruang-ruang bawah tanah sudah tidak digunakan lagi, kecuali oleh tikus-tikus. Semuanya menjadi terbalik setelah kabar peristiwa itu semakin dekat, orang-orang kaya bersembunyi di bawah gorong-gorong dan orang-orang miskin menetap di atas permukaan.
Selumbari, aku menghuni rumah orang kaya yang telah ditinggal oleh pemiliknya untuk bersembunyi di bawah gorong-gorong. Pintu rumahnya terbuka lebar, untuk sehari pada selumbari itu, aku sempat merasakan rasanya menjadi orang kaya. Aku makan segala buah-buahan yang ada di atas meja marmer berwarna putih dapur rumah ini.
Aku membuka kulkas yang isinya banyak sekali susu-susu segar. Lalu, aku membuat
roti isi selai kacang untuk mengisi perutku. Aku memakannya sambil bersantai
menghadap ke bawah dari balkon ruma. Sebenarnya tak begitu aku kenal pemilik
rumah ini, hanya sebatas sering memulung dari tempat sampah rumah ini. Aku bisa
membayangkan dari balkon ini, seorang pemulung seperti mengais-ngais tempat
sampah yang begitu kotor. Tempat paling kotor di rumah ini. Di samping tempat
sampah, aku duga itu merupakan pintu ke bawah tanah.
Televisi
di rumah ini masih menyala. Dari aku baru datang di rumah ini sudah menyala.
Aku tidak tahu cara mematikannya, tidak ada remot, tidak ada kabel listrik yang
bisa dicabut untuk mematikan televisi. Sebab tidak ada gunayanya televisi ini
terus menyala, hanya menampilkan gambar kosong berwarna biru.
Setelah
siang dengan perut yang begitu kenyang karena tak seperti biasa, makanan sangat
melimpah. Aku menjadi begitu mengantuk. Maka aku pergi ke salah satu kamar. Kamar
yang luasnya melebihi rumahku di pinggir kali. “Tuhan, Kau memberi orang kaya
begitu kenikmatan. Terima kasih Tuhan, Kau memberiku kesempatan untuk menjajal
kenikmatan itu.”
Aku
merebahkan diri di kasur yang begitu empuk, ketika merebahkan diri di atasnya
badanmu akan terasa seperti dipeluk dengan begitu nyaman. Tidak akan bisa digambarkan
bagaimana kenyamanan itu, karena tidak menunggu waktu yang lama untukku
terlelap. Jika dibandingkan dengan tidur di rumahku yang ada di pinggir kali,
di kamar ini tidak ada nyamuk-nyamuk sebesar gajah yang rakus mengisap darah.
“Kau seharusnya mengisap darah orang kaya. Karena dalam tubuhnya begitu banyak
nutrisi.” Batinku kini mengasihi nasib buruk nyamuk-nyamuk pinggir kali.
Begitu
malam tiba, aku sibuk menghidupkan lampu-lampu di rumah ini. Banyak sekali
saklar lampu yang harus dinyalakan. Mengitari rumah ini membuatku lelah begitu
cepat. Sungguh, tak ku pahami seberapa luas rumah ini. Namun, rasa lelah yang
aku alami sudah cukup menjelaskan luasnya. Sekitar puluhan lampu dari tiga
lantai masing-masing rumah ini. Bagaimana pemilik rumah ini menyalakan begitu
banyak lampu? Bukankah orang kaya tidak menyukai hal-hal yang menyusahkan? Ah, kini
aku tahu alasan diperlukannya pembantu.
Hanya
satu hari.
Ketika
pagi tiba-tiba ledakan yang begitu keras terdengar. Awan tampak kelabu, Api
panas dari ledakan itu menyentuh langit. Peristiwa itu sudah terjadi. Peristiwa
yang menyebabkan semua orang menjadi ketakutan. Peristiwa yang membuat orang
kaya bersembunyi di balik gorong-gorong, meninggalkan orang miskin di
permukaan.
Tanpa
memedulikan apa pun, aku berlari dari rumah orang kaya itu ke pohon beringin di
pertigaan jalan. Pohon beringin yang umurnya tidak diketahui oleh siapa pun di
kota ini. Pohon beringin yang tak pernah disadari oleh orang bahwa telah
berlubang. Lubang ini yang biasanya aku buat untuk menyimpan hasil rongsokan.
Karena rumahku yang di pinggir kali tidak mampu menampung rongsokan dari hasil
memulung.
Aku
keluarkan segala rongsokan yang ada di dalam pohon beringin itu. Ternyata
ruangnya pas untukku. Ketika ledakan selanjutnya terjadi, saat itulah aku
melihat api panas menyembul dari segala penjuru dunia. Aku menutup pintu dari
pohon beringin. Begitu gelap di dalam pohon ini.
***
“Ledakan
nuklir sangat membahayakan, disarankan pada semua orang untuk segera mengamankan
diri di ruang bawah tanah masing-masing.” Seorang reporter perempuan dari
televisi menyiarkan dengan penuh ketakukan.
Kepanikan
melanda semua orang. Huru-hara, lari tak beraturan, bagi orang-orang yang
mendengar berita itu.
Budiman
segera membuka ruang bawah tanah yang letaknya tak jauh dari tempat sampah.
Pemulung ketika membuka kotak tempat sampah, mungkin dengan tak sengaja juga
akan melihat kotak ini yang tertutup oleh pintu besi. Tidak menjadi masalah,
karena untuk memasuki pintu ruang bawah tanah hanya Budiman yang memiliki
kuncinya.
Segera
setelah berita itu disiarkan, untuk pertama kali, setelah bertahun-tahun ruang
bawah tanah dibuat. Budiman membukanya, “Masuk!” Teriaknya pada istrinya yang
berlarian mengamankan anak-anaknya.
Anak
yang masih bayi dan menyusu digendong oleh istrinya. Sementara yang cukup besar
dan sudah bisa berjalan, berlari di samping istrinya. Budiman menyusul anak
sulungnya. Menggendongnya agar cepat sampai di pintu ruang bawah tanah.
“Dunia
sedang kacau. Manusia tidak ada yang mau mengalah. Semua ingin menjadi
pemenang. Nuklir menjadi senjata andalan.” Perempuan di televisi itu kini menyiarkan
dengan air mata yang menghiasai pipinya.
“Kita
kemana, Ayah?”
“Ke
bawah situ, Nak. Ayo Cepat.” Jawab Budiman masih menggendong anak sulungnya.
“Aku
takut, Ayah.”
Budiman
tak menjawab lagi. Perlahan ia menutup pintu ruang bawah tanah. Ledakan itu
belum terjadi. Hal yang terakhir ia lihat adalah rumahnya yang begitu terbuka
lebar dan telivisi yang masih menyala menyiarkan berita dunia. Pemandangan yang
tidak akan terlihat seandainya ia tetap berada di dalam rumah. Ia adalah orang
yang akan begitu rajin mematikan televisi ketika tidak lagi menontonnya.
***
Dua
hari sudah aku berjalan. Debu yang berterbangan itu terus melayang. Tak ada yang
tersisa di permukaan. Hanya pohon beringin yang tak diketahui usianya itu yang
masih bertahan. Namun daun-daunya yang dulunya hijau kini menguning dan
tertutup oleh debu yang sangat tebal. Aku tidak akan jauh-jauh dari pohon ini.
Perutku
yang sudah tidak terisi dari terakhir kali aku makan di rumah orang kaya itu.
Rumah yang kini tak aku ketahui lagi letaknya. Jalan-jalan sudah tertutup oleh
reruntuhan rumah, gedung, dan debu tebal. Beberapa manusia yang tak benyawa
juga ada di antaranya. Pemandangan ini tentunya akan sangat mengerikan sebelum
terjadinya ledakan, tapi pemandangan ini terasa biasa saja setelah ledakan.
Permukaan
bumi terlihat begitu datar sejauh mataku bisa memandang, hanya pohon beringin
ini yang tetap berdiri tegak. Hutan, gunung, sawah, dan lautan yang menjadi
simpanan kekayaan negeri ini hilang bersama dengan sekolah-sekolah yang kerap
menyanyikan nyanyian itu. Tak ada apa pun, semuanya tampak datar dan luluh
lantak setelah ledakan.
Dulu,
rumah itu hanya perlu beberapa kali berjalan dan melewati gang-gang sempit,
setelah itu akan ada jalan yang begitu besar di depan rumah itu. Rumah yang
terletak di paling pojok perumahan, dan paling dekat dengan pintu kecil dari
tembok batas perumahan dengan kampung. Beberapa tetanggaku yang menjadi pembantu
rumah tangga menggunakan pintu ini untuk pergi ke rumah juragan mereka. Aku
juga menggunakan pintu ini untuk berangkat dan pulang memulung.
Tidak
ada pilihan lagi. Aku tidak ingin mati kelaparan. Dengan masih mengikatkan kain
batik pada kepala untuk melindungi napasku dari debu yang tebal itu. Aku
menggunakan benang layang-layang hasil memulung yang aku ikatkan pada pohon
beringin, ujung satunya aku ikat pada batu yang kemudian aku pegang. Aku
memperkirakan jarak dari pohon beringin sampai ke rumah orang-orang kaya.
Barangkali ada sisa-sisa makanan yang masih bisa di makan di rumah itu. Ujung
benang yang aku ikatkan pada batu itu akan ku gunakan sebagai penunjuk arah.
Aku
berjalan menuju ke selatan, kira-kira saja karena tidak ada sinar matahari yang
bisa menembus kabut debu tebal. Hanya samar-samar akan terlihat sinar
kemerahan, tapi tak bisa dipastikan itu adalah matahari. Sebab, di luar sana
masih ada beberapa ledakan jauh yang apinya menyentuh langit. Api dari ledakan
itu terlihat seperti matahari ketika senja, namun sangat mengerikan.
Ketika
aku menarik benang layang-layang sampai tak tersisa. Tak aku temui rumah itu.
Aku berjalan terus menyamping dengan jarak yang tetap sama, benang
layang-layang itu menjadi tanda.
Reruntuhan
di bawahku sedikit bergerak.
Harapanku
untuk menemukan rumah itu guna mencari makanan semakin besar. Namun, segera aku
sadari bahwa tanah di bawahku bukan bergerak karena ada rongga kosong di
reruntuhan rumah. Tapi karena tanah di bawahku ini ternyata dulunya merupakan
sungai. Terlihat dari batas besi dam yang kokoh itu telah roboh. Sungai yang
dulunya begitu besar ini ternyata sudah tidak menyisakan air sama sekali. Rumahku
pinggir kali, rumahku ada di dekat sini. Tak telihat lagi.
Tidak
ada harapan. Hidup setelah ledakan hanya menunggu waktu untuk mati.
Aku
mengais-ngais barangkali ada air. Namun tidak ada, tanah telah rata. Cekungan
sungai tidak ada lagi. Air tidak mungkin di dapat.
“Tidak,
aku tidak ingin mati. Tuhan, aku belum ingin untuk mati hari ini.”
Tampak
seperti tikus yang ingin bersembunyi di bawah tanah. Aku terus menggali tanah
di bawahku dengan tanganku. Tanganku mengucurkan darah karena aku begitu
membabi buta mengais tanah. Tidak lagi aku perharikan pecahan kaca, beberapa
paku yang menyembul dari kayu-kayu, apa pun itu telah menggores tanganku.
Perutku sudah sangat lapar tak tertahankan.
Seekor
jangkrik tiba-tiba melompat keluar ketika aku sibuk mengais tanah. Dengan cepat
aku mengejar jangkrik itu.
***
“Apa
yang sedang terjadi di luar, Ayah? Kenapa kita bersembunyi?” Anaknya masih
memandang atap pintu tempat ia masuk. Tak pernah terdengar ledakan. Tak pernah
terdengar apa pun, meski Budiman tahu bahwa televisi di rumahnya masih menyala.
Sebab ruangan ini begitu kedap suara.
“Tidak
tahu, Nak.”
“Aku
ingin bermain di luar, Ayah.”
Hanya
jam tangan yang Budiman gunakan yang menunjukan berjalannya waktu. Tidak lagi
Budiman ingat, karena jam tangan analog yang ia pakai tidak memiliki penunjuk
tanggal. Entah sudah berapa hari, di luar sedang siang atau malam, ia sama
sekali tak tahu. Waktunya untuk makan, waktunya untuk tidur, tidak lagi
teratur. Jam tangannya hanya menunjukkan pukul sembilan.
Bayi
dalam pelukan istrinya menangis kencang. Air susu tak keluar dari istrinya
untuk si bayi. Perasaan pilu, masygul, gelisah, dan penuh tekanan mewarnai
hari-hari dalam ruang bawah tanah itu dengan kelabu. Istri Budiman menatapnya,
“Persediaan makanan kita sampai kapan?”
Budiman
hanya memberikan senyum getir kepada istrinya. Tak tega rasanya jika ia
mengatakan bahwa persediaan makanan untuk mereka berempat hanya sampai satu
bulan ke depan.
***
Aku
mengejar jankrik itu sampai di ujung kaki seseorang yang tak beralaskan apa
pun. Ia tak memakai sandal sepertiku. Kakinya lusuh terkena debu, ada beberapa
luka yang sudah mengering dari kaki itu. Kaki itu menginjak jangkrik buruanku.
Mati.
Aku
mendongkak. Pemilik kaki itu bukanlah orang dewasa, ia masih muda. Namun tak
ada kesegaran lagi dalam raut wajahnya yang penuh sengsara.
“Jangkrik
itu milikku!” Kataku. Begitu susah untuk mendapatkan seekor jangkrik dengan
perut yang sudah sangat lapar.
“Aku
tidak akan berbagi denganmu.”
Sialan.
Di saat seperti ini tidak ada lagi kepemilikan. Tidak ada lagi aturan hokum
yang berlaku. Bahkan, mungkin tidak ada lagi negara-negara yang tetap berdiri.
Semua manusia yang hidup di permukaan bumi begitu bebas. Sangat bebas. Seperti
kembali pada masa ketika manusia pertama belum pernah mengenal hokum di atas kertas-kertas.
Nama
juga tidak terlalu penting. Siapa pun orangnya, jika harus berebut makanan.
Maka ia harus memperjuangkannya. Tidak bisa merengek dan berharap kebaikan.
“Kau
tidak sebijak namamu. Budiman.”
“Aku
tak peduli. Palang besi yang aku kalungkan ini bukan namaku.”
“Lalu
kenapa kau memakainya?”
“Aku
menemukannya dari tumpukan reruntuhan rumah. Orang-orang kaya tak memerlukan
palang nama untuk alamat rumahnya di bawah tanah.” Tak ada senyum darinya. Ia
melanjutkan, “Bagaimana kau bisa bertahan?”
“Aku
bersembunyi di balik pohon beringin di pertigaan jalan.” Jawabku menunjukan
batu yang aku ikat dengan benang. Benang panjang itu mengarah pada satu pohon
yang tampak begitu kecil. Aku menanyakan pertanyaan yang sama padanya.
“Aku bersembunyi di lubang dalam candi.” Jawabnya. Ternyata candi juga menjadi bangunan yang tak hancur karena ledakan.
Kemudian ia melanjutkan, “Orang-orang kaya itu tidak akan bertahan. Mereka tidak tahu, bahwa pintu bawah tanah mereka terkubur begitu dalam oleh reruntuhan rumah mereka sendiri.”
Ia merasa iba kepadaku, dan melemparkan kepala jangkrik itu kepadaku. Segara aku memakannya.
***
Anak-anaknya
sudah terlelap ketika istrinya bertanya, “Apa yang kira-kira terjadi di atas
sana.”
Budiman
menjawab, “Orang-orang yang tersisa di atas sana tidak akan bertahan. Radiasi
dari ledakan itu sangat berbahaya. Mungkin, dalam beberapa hari mereka belum
merasakannya. Dalam beberapa hari awal mereka yang tersisa di permukaan hanya akan
disibukan dengan mencari makanan untuk memperjuangkan hidupnya.”
Sudah satu bulan yang membosankan Budiman dan keluarganya bersembunyi di ruang bawah tanah. Kini, perutnya berbunyi keroncongan …
Komentar
Posting Komentar