Sebuah Buntalan untukmu
"Apa ini?" Tanyanya bingung, ketika aku memberikan
hadiah sebuah buntalan terbungkus kain kepadanya. Ia hendak
membuka buntalan itu. "Jangan kamu buka!" Cegahku.
Celaka, ia sama sekali tak menurutiku. Ia tetap membukanya.
Dalam buntalan itu terdapat buntalan lagi di dalamnya.
Rasa penasaran yang muncul darinya, menjadikannya lebih
cekatan. Ia membuka buntalan dalam buntalan itu, yang
ternyata isinya tetap saja buntalan. Rasa penasarannya berubah
menjadi kemarahan karena ia merasa dipermainkan.
"Sudah aku bilang. Jangan kamu buka!" Jeda ketika aku
mengatakannya, ia lanjutkan lagi membuka buntalan itu.
Dari pagi sampai malam. Dari kemarau sampai penghujan.
Dari usia yang masih muda sampai ia begitu renta. Ia tak
pernah lelah atau melewatkan sehari saja untuk tidak membuka
buntalan itu. Celakanya, setiap buntalan itu semakin mengecil
di malam hari. Ketika pagi tiba-tiba saja buntalan itu kembali membesar.
Ia tak akan pernah berhasil membukanya.
Rambutnya kini memutih, tangannya tak secekatan dulu
ketika aku menghadiahinya buntalan itu. Aku telah mati,
karena umurku tak sepanjang ia yang terus membuka buntalan itu.
Kelak, aku tahu buntalan itu tak seperti dulu. Buntalan itu tidak
cepat kembali menjadi lebih besar. Bahkan, hampir saja berhasil
ia buka suatu malam, ketika cucunya lahir dan ternyata buntalan itu
tak jadi selesai dibukanya, malah buntalan kembali membesar.
Komentar
Posting Komentar